Pariwisata di Timur Tengah Lesu, Dampak Perang Israel dan Hamas

Pariwisata di Timur Tengah Lesu, Dampak Perang Israel dan Hamas

SHARM EL SHEIKH - Pariwisata di Timur Tengah lesuh. Itu merupakan dampak dari perang Israel dan Hamas. Sehingga julukan sebagai Madinah Al Salam atau Kota Perdamaian tidak menyelamatkan Sharm El Sheikh di Mesir dari dampak perang di Jalur Gaza.

Di mana, kawasan wisata di tepi Laut Merah itu dihindari para wisatawan mancanegara, terutama dari Israel dan Eropa yang saban musim dingin berbondong-bondong mencari kehangatan di selatan.

Pariwisata sejatinya menyumbang antara 10-15 persen kepada pendapatan negara tahunan di Mesir.

Perannya sebagai penggerak ekonomi terutama diperlukan saat ini, ketika Mesir kesulitan merangsang pertumbuhan di tengah beban utang yang tinggi.

"Pariwisata bukan cuma menjadi sumber pendapatan utama bagi para pekerja di sektor pariwisata, tetapi juga ikut menafkahi bagi sektor lain, seperti di layanan taksi, supermarket dan taman hiburan," kata Moustafa Hassan, seorang manajer restoran di Sharm El Sheikh dilansir dari Nusantaraterkini.co pada Selasa (5/12/2023).

Saat ini, penurunan angka wisatawan belum terlihat mencolok, terutama karena didorong larangan pembatalan bagi paket wisata murah yang sudah dipesan.

Namun jumlah reservasi sudah berkurang drastis sejak dua bulan terakhir. Tren ini diyakini akan menetap untuk sementara waktu.

Prospek Muram di Kawasan

Menurut konsultan keuangan di Dubai dan Beirut, Nasser Saidi & Associates, sejak awal Oktober pembelian tiket pesawat menuju Mesir telah turun sebanyak 26 persen.

Adapun pemesanan tiket ke Yordania anjlok sebesar 49 persen dan ke Lebanon 74 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Lebanon sudah kehilangan daya tarik sejak ledakan di pelabuhan Beirut tahun 2020 yang dibarengi krisis ekonomi berkepanjangan.

Belum lama ini, Pemerintah AS menerbitkan peringatan perjalanan ke Lebanon dengan alasan konflik antara Israel dan Hezbollah.

Akibatnya, pada musim panas 2023 lalu jumlah wisatawan asing di Lebanon anjlok.

Media lokal melaporkan, tingkat hunian hotel berkisar antara nol hingga tujuh persen, dibandingkan dengan masa normal di mana setidaknya seperempat kamar hotel terisi.

Pariwisata Yordania "lesu"

Yordania juga menerima pembatalan untuk hampir separuh reservasi hotel pada Oktober, menurut Hussein Helalat, juru bicara Asosiasi Hotel Yordania.

Setelah akhirnya pulih dari dampak pandemi Covid-19, pelaku bisnis perhotelan berharap tingkat hunian akan mencapai 95 persen pada kuartal terakhir tahun ini.

Namun, harapan itu meleset jauh dengan tingkat hunian yang mentok di angka 80 persen, kata Helalat.

Anjloknya jumlah wisatawan mancanegara di Yordania diyakini diakibatkan absennya pelancong dari Eropa dan Amerika Serikat.

Di Yordania, sektor pariwisata secara rutin menyumbang antara 11 hingga 15 persen pada pendapatan negara.

Pengusaha pariwisata Yordania, Najwan Al Masri, juga mengakui adanya penurunan jumlah wisatawan.

Menurutnya, jumlah wisman telah berkurang dari 760.000 pada September menjadi 730.000 pada Oktober.

Ancaman Eksistensial

Sejumlah negara jiran lain di kawasan juga merasakan dampak perang di Gaza.

Dua negara Arab di Afrika Utara, Maroko dan Tunisia, misalnya sama-sama mencatatkan penurunan jumlah pemesanan antara 15 hingga 20 persen, lapor surat kabar Perancis Le Monde awal bulan ini.

Fenomena serupa diwaspadai oleh Pemerintah Siprus, di mana wisatawan Israel sebelumnya berjumlah rata-rata 15 persen dari total jumlah wisatawan.

Tren ini diyakini akan memicu gelombang kebangkrutan jika berlangsung lama. "Jika terjadi perang yang berkepanjangan, seluruh industri pariwisata dan terutama usaha kecil yang didominasi generasi muda Yordania, akan menderita," kata pengusaha pariwisata Yordania Al Masri.

Periode Natal selalu menjadi waktu yang penting bagi pariwisata dan jika konflik terus berlanjut, "bahaya akan meluas ke musim berikutnya," katanya. (*)

Sumber Nusantaraterkini.co

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak